Postingan

Cerita Cita-Cita

Gambar
"Kalau sudah besar mau jadi apa?" tanya wanita itu. Aku, yang waktu itu bahkan belum mengenyam pendidikan formal, dengan cepat menjawab, "Dokter!" Lalu wajah wanita itu dipenuhi senyuman, kedua matanya berisi ketakjuban. Seolah jawaban yang baru saja kuberikan adalah sebuah cita-cita yang sangat mulia. Seolah aku pada umur segitu sudah bisa memastikan masa depanku. Kenyataannya, jawaban itu hanya sekedar pilihan jawaban yang ditanamkan secara bertahun-tahun ke dalam kepalaku, lalu mengendap di sana. "Belajar yang pinter, biar nanti jadi dokter." Begitu seringnya orang tua-tua yang ada di kehidupanku berpesan setiap kali bertemu. Pun setiap kali aku diminta orang tuaku untuk meminta doa restu pada mereka di hari raya. Makanya, itu juga yang akhirnya tertanam di kepala, itu juga satu-satunya alasan mengapa profesi itu yang akhirnya menjadi cita-cita. Ya, bukan karena aku memang ingin menjadi dokter, mengabdi untuk orang banyak, atau memiliki keinginan bekerj

Lagi

Gambar
Hai, aku datang lagi. Iya, masih aku yang sama, yang pernah bilang akan meninggalkan tulisan di sini lalu tiba-tiba hilang lagi. Iya, masih aku yang dulu, yang katanya nanti akan bercerita setiap hari lalu rasa malas menghinggapi lagi. Iya, ini masih aku yang tanpa malu datang dan membuat janji yang sama lagi bahwa aku telah kembali dan akan setia bercerita di sini. Iya, janji. Nanti tak pergi-pergi lagi tak hilang-hilang lagi bercerita di sini lagi.

Tak Ada Bedanya

Gambar
credit: LegasC (https://stock.adobe.com/) Kapan hari seorang kenalan bercerita dengan penuh emosi tentang bagaimana sakit hatinya ketika orang asing menuduhnya tak becus mengurus anak. Katanya, "Dia loh tak kenal, seenaknya saja bilang kalau anakku terlambat bicara karena aku terlalu sering main hape dan tak peduli pada anakku!". Kedua matanya berkaca-kaca, lalu bercerita dia tentang isi kepalanya, tentang bagaimana seharusnya sesama orang tua itu seharusnya saling mendukung, bukannya menjatuhkan. Tapi, lantas tak berselang lama, bercerita lagi dia tentang temannya. Begini katanya, "Anaknya si itu tuh habis masuk rumah sakit gara-gara ada infeksi di saluran kemihnya. Kok bisa, loh! Padahal anak dia itu normal, anak sehat yang nggak butuh perhatian khusus. Bisa-bisanya sampai kena infeksi. Males sih dia ngurusin anak. Waktunya habis untuk main hape saja!". Ah, ternyata sama saja. Kapan waktu seorang ibu mencak-mencak karena tetangga bilang anaknya tak cantik. Tak ter

Sudah, Tak Apa

Gambar
"Belum juga datang suamimu, Dik?" Aku menoleh pada perempuan yang menunggu itu. Pertanyaan tetangga kami itu hanya dijawab dengan gelengan kepala. "Kenapa tak juga datang? Sudah boleh itu dia kemari. Tak ada lagi karantina-karantina. Tetangga kita saja si itu sudah bolak-balik ke luar kota. Tak apa-apa." Kali ini kepalanya terangguk dan paatinya senyuman terulas tipis di bibirnya yabg tertutup masker. Aku bisa melihat senyuman itu di matanya. Masih tak mengatakan apa-apa. "Sudah, tak apa. Bilang saja pada suamimu. Suruh datang kemari. Atau jangan-jangan sudah ada yang lain dia di sana? Hahahaha.." Perempuan itu menoleh padaku. Aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum. Tak berusaha membantu apa-apa. Toh orang-orang itu kan hanya ingin memberikan nasihat, tak peduli benar atau salah, bermanfaat atau tidak, sesuai dengan masalah mereka yang dinasihati atau tidak. Aku dan perempuan itu sudah sama-sama tahu. Jadi kubiarkan dia bergegas pergi

Barang Baru

Gambar
Kawanku kemarin datang dengan baju baru. Kawannya bilang,      "Baju merk apa kau pakai itu?       terlihat murah sekali." Kawanku bilang,      "Ya. Murah memang.       Lima puluh ribu kubeli,       tiga kudapat." Kawannya menahan tawa. Katanya,      "Beli baju jangan murahan begitu.       Kau pegawai tetap di sini.       Mau kau pakai apa uangmu?" Lalu hari ini kawanku datang dengan sepatu baru. Kawannya bilang,      "Sepatu baru.       Wah, barang mahal itu.       Asli kah itu?       Mentang-mentang besar gajimu,       lalu kau buang-buang duit buat sepatu semahal itu." Aku lagi-lagi hanya bisa diam mendengarkan kata-katanya. Bingung harus menuruti yang mana. Sukoharjo, 4 Juli 2020 #CatatanJuli20:04

Tentang Kawanku, Mereka Bilang...

Gambar
Sewaktu kawanku berjuang dengan berat badannya, mereka bilang: "Halah, coba kulihat. Berapa lama akan bertahan diitmu kali ini." "Ngapain diit segala? Nyusahin diri aja." "Ciyeee.. Diit." "Makananmu kok cuma kaya gitu? Itu ga cukup nutrisinya. Harusnya begini. Harusnya begitu." Sewaktu kawanku bercerita tentang keberhasilannya, mereka bilang: "Ih, kamu jadi jelek gitu. Keliatan tua, tauk! Ngapain sih diit segala?! Bagusan juga pas gemukan dulu." "Sebulan cuma turun segitu? Aku dong udah turun segini." "Cuma kaya gitu. Semua orang juga bisa. Biasa aja." Tapi, anehnya kalau di belakang kawanku, mereka bilang: "Si itu tuh.. Badan udah segitu makan masih banyak aja." "Jangan jajan terus. Nanti badanmu jadi kayak si itu. Tau rasa." "Jangan kayak si itu. Gendut. Nanti tak ada lelaki yang mau padamu."

Dewasa

Gambar
Kata bapakku, sebelum dewasa, tak boleh aku kawin dulu. Katanya, kawin tak semudah itu,                tak cuma urusan cinta, senang-senang, dan bahagia,                atau romantisme yang tak ada henti-hentinya,                atau adalah akhir bahagia sebuah cerita. Bukan. Lalu kubilang kalau aku sudah dewasa,                masuk sudah umurku ke kelompok dewasa tua malah. Tapi, bapak tak mau kalah. "Dewasa itu bukan cuma masalah umur badanmu," katanya. Kukatakan padanya kalau aku tahu. Dewasa memang bukan masalah umur,               tapi masalah pola pikirku,               tanggung jawabku,               sikapku,               dan bagaimana aku harus berperilaku. Tahu. "Ada lagi," kata bapakku. "Dewasa itu sewaktu tak lagi merasa perlu untuk langsung melakukan pembelaan diri                lalu merasa lebih baik ketika dinasihati. Ah. Tentu saja langsung kujawab kalau aku juga sudah seperti itu. Tahu aku kalau dewasa juga